Suatu hari, seorang siswa memandang sebuah pensil yang patah di atas meja teman sekelasnya. Ia bertanya, "Bolehkah aku meminjam ini?"
Temannya, tanpa menoleh dari pekerjaannya, menjawab singkat, "Ambil, buat kamu saja."
Percakapan itu terjadi begitu saja, begitu sederhana, dan begitu cepat. Mungkin saja si teman akan melupakan pensil yang ia berikan keesokan harinya. Tapi bagi siswa peminjam, pensil patah itu bisa berarti banyak. Dia bisa menyelesaikan tugasnya dengan alat kecil itu.
Ikhlas dalam Keseharian
Kisah yang menonjolkan keindahan dari sebuah keikhlasan. Bagaimana memberi arti bagi orang lain tanpa merasa memberi. Menolong tanpa merasa berjasa. Melupakan begitu saja kebaikan seakan tidak pernah terjadi.
Sebagaimana si teman memberikan pensil yang patah kepada siswa itu. Nampak sangat mudah tanpa ada suatu keberatan. Tidak menjadi beban dan dilupakan begitu saja. Tidak ada rasa berjasa, tidak ada rasa telah memeberi. Semuanya lenyap dalam ketulusan.
Ikhlas adalah rasa yang menghilang begitu saja. Rasa lega, seperti debu yang tertiup, lenyap. Ikhlas hadir dalam hal-hal kecil yang sederhana namun bermakna besar bagi orang lain.
Mengapa Keikhlasan Itu Penting?
Sering kali kita menatap dunia dengan mata yang berbeda. Memandang pensil yang patah sebagai sebuah pena emas. Yang karena itu selalu ada rasa keberatan saat kita berbagi. Memberikan yang sesungguhnya tidak seberapa, namun kita ingin diingat, dihargai, dikenang.
Ketulusan sejati lahir dari kebaikan yang tidak tercatat, tumbuh dari kebaikan yang hilang dari ingatan kita, namun tetap hidup di hati orang lain.
Belajar dari hal yang sederhana
Kisah pensil patah mengingatkan kita bahwa kebaikan seyogyanya tidak disimpan di dalam memori. Biarkan dia mengalir ringan tanpa jejak. Karena kemurnian sebuah kebaikan adalah hal yang kita lupakan, tetapi orang lain merasakan.
— Gani Prayoga (versi yang telah diprebarui dari versi asli yang ditulis pada 10 Oktober 2012)