Avatar di era digital tidak hanya sekadar elemen grafis, dia dapat mencerminkan branding dan personality diri kita di dunia maya. Istilah avatar sendiri berakar dari mitologi Hindu, di mana wujud transenden turun ke bumi untuk menegakkan keseimbangan semesta. Melacak evolusi dari kata ini yang bermula dari teks kuno hingga kini lumrah ditemui di layar gadget mencerminkan evolusi cara manusia mengekspresikan personanya. Avatar tak hanya menarik secara visual, lebih dari itu dia mampu menyampaikan identitas, emosi, dan narasi user di dunia maya.
Sejarah dan Etimologi Avatar
Avatar berasal dari kata Sansekerta: avatāra yang secara harfiah berarti penurunan atau turun ke alam semesta. Kata ini tersusun dari dua elemen:
- ava: turun
- tarati: menyebrang
Dalam tradisi Hindu, avatāra menunjuk pada perwujudan dewa yang turun dari alam surgawi ke alam semesta untuk memulihkan tatanan kosmis dan melawan kekuatan jahat.
Istilah "avatar" pertama kali dicatat dalam kamus bahasa Inggris pada 1784 untuk merujuk pada inkarnasi dewa Hindu yang turun ke bumi. Kemudian terjadi perluasan makna pada 1815 menjadi "concrete embodiment of something abstract" atau perwujudan konkret dari sebuah konsep abstrak. Maknanya bertransformasi tidak hanya pada konteks sakral.
Definisi serupa juga bisa kita temukan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia. Selain didefinisikan sebagai "titisan dewa", avatar juga didefinisikan sebagai gambar tiga dimensi yang digunakan untuk menggambarkan seseorang dalam dunia maya. Menegaskan dua aspek warisan mitologis dan penerapannya dalam representasi visual pengguna di ranah digital.
Etimologi: Sanskerta अवतार avatāra 'turun(nya), khususnya tentang dewa dari surga; penampakan dewa, sebarang penampakan baru dan yang tidak dinantikan'
- n Hin titisan atau manifestasi Tuhan untuk menyelamatkan darma dari adarma; awatara
- n gambar tiga dimensi yang digunakan untuk menggambarkan seseorang dalam dunia maya
Source: KBBI ↗
Penerapan Awal dalam Komputasi
Awal penerapannya dalam ranah komputasi atau digital, "avatar" dipopulerkan oleh Richard Garriott melalui game Ultima IV: Quest of the Avatar pada tahun 1985. Di sana karakter pemain dinamai Avatar untuk menegaskan peran moral dan persona para pemain di dunia game. Sejak itu, istilah ini diadopsi luas oleh komunitas online sebagai sebutan bagi persona grafis user di forum, media sosial, dan virtual environment lainnya.
— Cover dan Personalisasi Avatar dalam Game Ultima IV: Quest of the Avatar
Identitas Persona Digital
Teori Persona Digital
Persona berangkat dengan teori self-presentation karya sosiolog Erving Goffman (1959) yang melihat interaksi sosial layaknya pertunjukan panggung. Setiap orang "mementaskan" diri kita untuk memerankan peran tertentu agar "penonton" menilai kita sesuai dengan yang kita inginkan. Leary & Kowalski (1990) memperdalam dengan model impression management. Keduanya menjadi model tentang model yang berkaitan tentang motivasi dan cara membangun kesan di mata orang lain.
Kebutuhan "bermain peran" ini menjadi lebih mudah terpenuhi menggunakan platform digital online. User dimungkingkan untuk meramu sendiri persona yang spesifik untuk membangun kesan tertentu orang lain terhadap user. Platform digital online menyediakan berbagai fitur seperti custom avatar, bio teks yang fleksibel, pilihan privasi, konten, dan yang lainnya. User punya kontrol penuh atas persona yang ditampilkan dengan proses yang bisa dilakukan dengan cepat dan mendalam.
Avatar sebagai Media Ekspresi Diri
Sebagaimana avatāra yang merupakan perwujudan Dewa yang turun ke Bumi, di era digital avatar mengambil fungsi yang serupa. Avatar menjadi wujud virtual pengguna yang memproyeksikan nilai, minat, dan narasi ke dunia maya. Melalui avatar setiap user menyalurkan sisi kreatif dan emosionalnya untuk membentuk persona mereka.
Personalisasi
Kebebasan dimiliki oleh user untuk memilih setiap detail visual dari avatarnya. Mulai dari bentuk wajah, gaya rambut, pakaian, aksesoris, hingga background. Hal ini menjadi sarana eksplorasi diri di ruang yang aman hingga mendapatkan estetik yang diinginkan. Lebih dari itu, user dapat mengekspresikan identitas alternatif mereka yang mungkin tidak didapatkan di dunia nyata.
Konsistensi Personal Brand
Avatar tidak hanya berhenti di satu platform, ia ikut merambat ke sosial media, forum komunitas, hingga aplikasi prKetika avatar dipertahankan secara konsisten di platform yang berbeda, maka ia bekerja juga sebagai personal brand. Membentuk kesan profesional yang kokoh, kretatif, dan berkarakter.
Challenge
Privasi
Teknologi modern dalam pembuatan avatar kerap kali memanfaatkan biometrik wajah untuk verifikasi dan personalisasi. Data wajah yang bersifat permanen memungkinkan kebocoran data atau peretasan dapat menimbulkan risiko privasi jangka panjang.
UX Designer perlu menerapkan prinsip privacy-by-design, memastikan persetujuan eksplisit pengguna dan meminimalkan penyiapan data sensitif untuk memitigasi risiko ini.
Impersonasi
Fleksibilitas dalam mengkustomisasi avatar membuka peluang user untuk impersonasi dan misrepresentasi. Pelaku cyber crime dapat mencuri atau meniru avatar orang lain untuk melakukan tindak kejahatan. Diperparah jika proses verifikasi identitas di banyak platform masih lemah. Selain itu, deepfake AI semakin mengaburkan batas antara wujud asli dan palsu dalam personasi.
Takeaway bagi UX Designer adalah merancang desain yang mampu menghadirkan fitur verifikasi. Beberapa platform menggunakan badge trusted user, verified user, real person, dan sebagainya. Penguatan juga dapat dilakukan dengan merancang mekanisme pelaporan dan moderasi cepat untuk menjaga reputasi dan kepercayaan platform.